Senin, 04 Mei 2009

Perlindungan Terhadap Hak Perempuan Atas Lingkungan Yang Sehat Dari Perspektif Feminist Legal Theory

Oleh : Muh. Irsyadi Ramadhany
abstrak
Realitas keterpurukan kualitas lingkungan hidup dewasa ini menjadi realitas yang menimpa jutaan perempuan Indonesia dan di belahan dunia ketiga lainnya, kerusakan lingkungan hidup memperlihatkan dengan sangat jelas betapa skenario globalisasi lewat politik pengelolaan lingkungan yang patriarkis meminggirkan dan menyebabkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Dan oleh karenanya, sangat penting untuk melihat keterkaitan yang sangat kuat antara perempuan dan lingkungan, serta membangun kehidupan dengan nilai-nilai ekologis, feminis, dan sosialis. Kajian penyusunan tulisan ini ini akan terfokus pada pembahasan secara umum mengenai pengaruh globalisasi terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup yang berdampak langsung pada penderitaan kaum perempuan. Penyusunan tulisan ini ditujukan untuk memberikan tindakan solutif dan konstruktif terhadap pelestarian lingkungan dengan pendekatan Feminist Legal Theory.
Latar Belakang
Tantangan terhadap kelestarian lingkungan hidup kini menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh manusia, bahkan ini sudah menjadi masalah yang menembus batas-batas negara.,dan mempertaruhkan eksistensi manusia di muka bumi. Manusia hanyalah salah satu unsur dalam mata rantai kehidupan di bumi, yang menyebabkan ketergantungan pada sistem planet bumi sebagai life-support system Sifat kebergantungan manusia terhadap lingkungannya ini dikuasai oleh hukum-hukum ekologi.
Kerusakan lingkungan sudah menjadi masalah yang mendesak bagi manusia, karena dalam hal ini manusia menjadi pelaku sekaligus korbannya. Keadaan dewasa ini telah membuat lingkungan yang kita huni terancam oleh potensi krisis lingkungan di depan mata kita.
Kerusakan lingkungan hidup telah terjadi dalam bermacam bentuk dan dari berbagai sector, seperti sector pertanian, (ke) hutan (an), lahan peternakan, bahkan termasuk meminggirkan cara rakyat bertahan hidup yang telah lama ada (yang dianggap tradisionil dan kuno).1 Keadaan tersebut terjadi hampir secara umum, bukan hanya dibagian pedesaan atau daerah sekitar tambang, tapi kondisi serupa juga dialami oleh rakyat miskin kota, penggusuran hunian sudah umum terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Dengan alasan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, kegiatan penggusuran pun semakin massif, dan kondisi ini merupakan indikasi betapa tata ruang kota sebagai salah satu aspek dari tata lingkungan yang bersifat makro tidak mengakomodasi hak rakyat yang bersifat mendasar.
Secara garis besar, terdapat 3 (tiga) kerusakan lingkungan yang sangat urgen terhadap kualitas hidup manusia. Pertama, adalah industri pertanian global, kedua, industri pertambangan, dan ketiga, adalah industri kehutanan. Dalam konteks tata ruang kota, gejala transformasi ruang publik menjadi ruang privat merefleksikan komodifikasi ruang hidup dan ruang sosial yang cenderung melahirkan proses pemarjinalan dan mengorbankan rakyat miskin kota.
Pada titik klimaknya, dapat dipahami secara sederhana bahwa, apabila suatu komunitas dimarjinalkan dari wilayah kehidupannya, maka secara otomatis pula, di dalam komunitas-komunitas tersebut terdapat kelompok-kelompok dan golongan - golongan yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan kelompok- kelompok dan golongan-golongan yang lain.
Dalam kenyataannya, dalam proses perusakan lingkungan, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko dan berpotensi mengalami penderitaan lebih dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain.2 Kelompok dan golongan tersebut lebih rentan menjadi korban karena secara tradisional mereka telah menjadi sasaran proses dan perlakuan diskriminasi (kultur maupun secara struktur yang sistematis). Doktrin hukum Economic, Social, And Cultural Committee United Nations Hak Asasi Manusia (HAM) mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok rentan dan tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups).
Rumusan Masalah
Tulisan ini lebih menekankan pada deskripsi perempuan sebagai korban atas kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat globalisasi ekonomi dan kemudian mentautkannya dengan HAM khususnya hak asasi perempuan. Sebagai pisau analisis, Perspektif feminist legal theory menjadi landasan untuk memetakan sampai sejauh mana keberpihakan kebijakan/hukum di sektor lingkungan berpihak pada perempuan.
Dampak Globalisasi Ekonomi terhadap Lingkungan
Prinsip globalisasi mengandung dua dimensi pokok yakni, dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization), dan dimensi politik dan negara (political and state globalization).3 Kedua dimensi tersebut digerakkan melalui tiga mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s), kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational korporation/MNC).
Dengan mesin globalisasi tersebut, negara-negara maju menancapkan hegemoni mereka untuk mengeksploitasi sumber-sumber (alam) di dunia. Dengan lembaga WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia.4 Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Dan dengan system sentralisasi modal IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Demikian juga halnya dengan tata ruang kota yang hanya memfasilitasi kepentingan pemodal melalui sentra-sentra bisnis dan sebagai konsekwensinya terjadi penggusuran hunian masyarakat miskin kota yang pada akhirnya terjadi kecenderungan komodifikasi ruang-ruang publik sebagai gerak utama kapitalisme.
Bila dikaitkan dengan perspektif hukum HAM, kondisi lingkungan dan kehidupan sosial dunia seperti di atas dapat melahirkan 2 (dua) kelompok sosoal di mana pihak yang satu menjadi pelaku, sementara pihak yang lain menjadi korban. Pihak pelaku selalu dilekati dengan kekuasaan (power) yang bisa bersumber dari toritas/kewenangan dan bisa juga berasal dari kekuatan modal. Yang pertama melekat pada negara/pemerintah, sedangkan yang kedua biasanya melekat pada korporasi. Kelompok-kelompok inilah yang memegang peranan yang dominant dalam menentukan dan memperoleh keuntungan yang besar. Pihak korban yang pasti tidak memiliki kedua-duanya atau tuna kuasa (powerless). Kelompok ini seringkali disebut masyarakat sipil (civil society). Secara konseptual terdapat 3 (tiga) negara dengan ukuran, kekuatan, dan kekuasaan negara yang bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat, yakni : Masyarakat sipil, Negara, dan Pasar.
Dalam konteks globalisasi, posisi Negara cenderung melemah dalam bekerja untuk memberikan layanan dasar. Pintu masuknya melalui deregulasi5 yang membebaskan pasar dari otoritas negara. liberalisasi ekonomi, penyesuaian Negara dan kebijakan privatisasi yang dilakukan negara malahan memperkuat peran pasar dan Dengan deregulasi terjadi pergeseran locus otoritas dari negara ke tangan pemilik modal. Akibatnya terjadi ketidak seimbangan peran, kekuatan, dan kekuasaan dari ketiga negara tersebut dan memposisikan sivil society yang secara konsep pemegang kedaulatan justru sebagai kelompok yang lemah.
Dalam titik ini negara yang seharusnya mempunyai kewajiban utama memenuhi HAM warganya gagal menjalani hakikat fungsi filosofi negara yakni mensejahterakan warga negaranya. Dampak kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat beroperasinya korporasi global menempatkan korporasi global sebagai pelaku pelanggaran HAM.6 Matthew Lippman mengetengahkan 4 (empat) factor bagi masuknya korporasi global sebagai actor yang berkewajiban menjamin dan melindungi HAM yang tertuang dalam berbgai konvensi HAM. Keempat argument tersebut meliputi : kekuasaan ekonomi perusahaan multi nasional, sifat internasional dari perusahaan multinasional, dampak operasi perusahaan multi nasional, dan terbatasnya kemampuan negara-negara berkembang dalam mengatur tingkah laku perusahaan multinasional.7
Prinsip pertanggung jawaban korporasi global menjadi penting karena 2 (dua) alasan pokok: pertama, dokumen ini dianggap oleh banyak komentator merupakan sebuah langkah maju yang diambil PBB – dalam hal ini Komisi HAM – untuk menegaskan prinsip-prinsip hukum internasional yang (dapat) diterapkan pada negara bisnis. Hukum internasional yang dimaksud, meliputi hukum hak asasi manusia, humaniter, perburuhan, lingkungan hidup, konsumen, dan hukum anti-korupsi. Kedua, dokumen ini memberikan norma sekaligus alat analisis untuk menilai apakah sebuah korporasi melanggar HAM.
Hak Asasi Perempuan atas Lingkungan Hidup yang Sehat
Kesadaran mengenai keterpautan antara HAM dengan lingkungan dipicu oleh tingginya laju perusakan lingkungan secara global yang diakibatkan oleh pertumbuhan industri yang cepat di bidang kehutanan, kelautan, energi, dan pertambangan. Perusakan ini pada gilirannya memustahilkan penikmatan atau pemenuhan HAM, yang tidak hanya terbatas pada hak-hak ekonomi, social, dan budaya, tetapi juga mencakup hak-hak sipil dan politik. Berdasarkan doktrin hokum HAM internasional, menurut Karel Vasak, hak atas lingkungan hidup merupakan salah satu hak yang termasuk dalam kategori generasi ketiga di mana yang mendapatkan perlindungan tidak hanya hak yang bersifat individu tetapi juga hak-hak kolektif. Paul Sieghart mengidentifikasi sedikitnya 6 (enam) golongan hak-hak kolektif, yaitu : (i) hak atas penentuan nasib sendiri; (ii) hak atas perdamaian dan keamanan internasional; (iii) hak untuk menggunakan kekayaan dan sumber daya alam; (iv) hak atas pembangunan; (v) hak kaum minoritas, dan (vi) hak atas lingkungan hidup.8 Perkembangan terkini, berdasarkan Konvensi HAM Wina 1993, tidak terdapat lagi perbedaan kategorisasi HAM berdasarkan perkembangan generasi, kepentingan yang dilindungi, maupun dikotomi antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, social, dan budaya karena HAM pada prinsipnya saling terkait (interdependence) dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).
Dalam kerangka pemenuhan dan perlindungan hak perempuan, maka instrument hokum HAM internasional menjadi pijakan karena hak asasi perempuan merupakan bagian dari HAM secara umum9 Keberadaan hak atas lingkungan sebagai salah satu hak sudah tercakup pada pasal 28 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 12 (b) Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Meskipun formulasinya terbilang sangat abstract.10
Untuk itu hak atas lingkungan harus diinterpretasikan secara luas sebagai hak
untuk memperoleh mutu atau kondisi lingkungan yang baik dan sehat, dalam arti tidak dibatasi hanya menyangkut obyek ruang berupa bumi, air, dan udara. Namun hak atas lingkungan hidup harus menegaskan pula penjaminan yang meliputi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan bagi subyek lingkungan hidup.11
Meskipun hak atas lingkungan hidup dalam instrument hokum HAM tidak diatur dan diformulasikan secara khusus, namun hokum nasional telah mengakui hak atas lingkungan hidup secara expressive verbis, malahan telah menjadi bagian hak konstitusional setiap warga Negara Indonesia. Pasal 28 H UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.12 Karena hak atas lingkungan telah mendapatkan tempat secara yuridis baik dilevel internasional maupun nasional, maka hak atas lingkungan merupakan hak yang justiciable dan enforceability. Artinya hak ini merupakan hak hokum yang apat dieksaminasi melalui prosedur institusi peradilan baik di level domestic maupun internasional.
Perspektif Feminist Legal Theory terhadap Substansi Hukum Lingkungan
Sebelum membahas lebih jauh analisis pelanggaran HAM dari perspektifmfeminist legal theory, dan untuk mendeteksi apakah perempuan merupakan suborsinasi sekaligus menjadi korban dalam pengelolaan dan perusakan lingkungan hidup, terlebih dahulu dijelaskan mengenai devinisi dari korban pelanggaran HAM. Secara umum, korban pelanggaran HAM didefisinikan melalui studi van Boven dengan merujuk pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekeuasaan (Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power) . Korban didefisinikan sebagai berikut : Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission)…
Perlu ditegaskan bahwa korban dalam pengertian yang digunakan dalam deklarasi di atas bukan hanya terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalami secara langsung, tetapi juga mencakup orang-orang yang secara tidak langsung menjadi korban seperti kelurga korban, orang yang menjadi tanggungannya atau orang dekatnya (their relatives), dan orang-orang yang membantu atau mencegah agar tidak menjadi korban.
Dalam konteks kerusakan lingkungan penderitaan yang melingkupi perempuan dapat di analisis menggunakan analisis feminis sebagai beikut : stereotipi, dominasi, diskriminasi, beban ganda, dan kekerasan.13
Bagi perempuan kerusakan lingkungan di kawasan industri Mobil Oil (Aceh), Freeport (Papua), Newmont Minahasa (Sulaewsi Utara), dan Newmont Nusa Tenggara (NTB) jika dianalisis dengan pisau feminis berdampak berlipat ganda dan berefek domino ketika model kekerasan yang patriarkhi dan militeristik berpadu dengan factor kekuatan modal internasional. Di desa Buyat Pantai, Sulawesi Utara, lokasi pembuangan limbah penambangan emas PT Newmont Minaha misalnya, beberapa perempuan dan anak-anak seperti kehilangan harapan hidup karena tidak mampu lagi menghadapi proses pemiskinan akibat hancurnya perairan tempat menangkap ikan.14 Kondisi ini merefleksikan 2 (dua) persoalan besar sebagai akibat dari konflik kepentingan antara rakyat dan investasi yang berdampak pada perempuan, yakni pertama kehilangan tanah (wilayah kelola) dan kedua kerusakan lingkungan.15
Dalam aturan hukum seputar pengelolaan lingkungan hidup, seperti kasus terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang memberikan ijin kepada perusahaan tambang untuk membuka tambang terbuka di kawasan hutan lindung berdampak pada kerusakan lingkungan dan lebih jauh berdampak pada penderitaan perempuan. Jika kerusakan lingkungan ditilik berdasarkan perspektif feminis maka harus dilihat penderitaan perempuan secara personal. Mengingat perspektif feminisme menjunjung nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman personal, rumusan tentang diri sendiri, kekuasaan personal, dan otentitas.16
Dalam konteks lingkungan hidup, terdapat keterpautan antara pola dominasi terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap alam. Dalam titik ini muncul aliran ekofiminisme. Karen J. Warren menspesifikan lebih jauh asumsi dasar dari ekofeminisme yang meliputi : (1) ada keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (2) pemahaman terhadap alam dalam kaitan ini
adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (3) teori dan praktik feminisme harus memasukkan perspektif ekologi; dan (4) pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminisme.17
Terkait dengan perspektif feminisme, maka untuk melihat suatu substansi peraturan perundang-undangan berperspektif feminis atau tidak, termasuk hokum lingkungan atau hokum yang terkait dengan aspek lingkungan, dapat mempergunakan pisau analisis Feminist Legal Theory. Feminist Legal Theory menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hokum berperspektif feminis dan praktik hokum berperspektif feminis.18
Teori hokum berperspektif feminis membantu memetakan persoalan-persoalan yang terkait dengan adanya kebutuhan untuk menangani persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan di hadapan hokum. Untuk itu karakteristik dasar teori hokum berperpektif feminis menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan substansi hokum lingkungan. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (a) mengubah pandangan bahwa hokum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (b) mengidentifikasi implikasi hokum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (c) bagaimana hokum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas. Kemudian praktik hokum yang berperspektif femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus sebagai berikut: pertama, bagaimana hokum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan terhadap mereka. Kedua, bagaimana hokum digunakan untuk meningkatkan posisi social perempuan.19
Jika substansi hokum lingkungan dianalisis dengan perspektif feminist legal theory maka perspektif ini dapat dipergunakan untuk mengeksaminasi sampai sejauh mana substansi tersebut berpihak pada perempuan atau malah menyumbang terjadinya subordinasi terhdap perempuan. Dalam kerangka ini maka analisis substansi, proses pembentukan hokum, metode pemikiran hokum dan epistemology hokum yang berobyek lingkungan perlu dilakukan.20 Di samping itu upaya mengajukan permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada perempuan melalui proses penyelesaian melalui mekanisme hokum, baik melalui pengadilan maupun alternative dispute resolution perlu terus diupayakan. Upaya ini dilakukan dengan landasan bahwa hak perempuan atas lingkungan hidup yang sehat bersifat justiciable dan enforceable dalam arti kata dapat diputuskan pemenuhannya lewat pengadilan dan dipaksa pemenuhannya lewat sebuah vonis hakim karena pelanggaran HAM menerbitkan upaya pemulihan bagi korbannya.
Terkait dengan upaya pemulihan korban, studi van Boven mengemukakan bahwa hak-hak korban pelanggaran HAM secara komprehensif tidak hanya terbatas pada hak untuk tahu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice), tetapi mencakup juga hak atas reparasi (right to reparation). Pemulihan adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM. Aspek-aspek pemulihan bagi korban meliputi kompensasi yaitu suatu kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan tanah. Yang kedua adalah retitusi yaitu kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian baiaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri, kemudian yang ketiga adalah rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan social. Kepuasan (satisfaction) dan jaminan terhadap tidak terulanginya lagi pelanggaran (guarantees of non-repetition), kewajiban ini merupakan kewajiban nagara dalam bentuk rehabilitasi.
Dalam point ini dapat terlihat apakah aturan atas hak lingkungan yang baik dan sehat yang telah menjadi hak konstitusional bisa efektif berhadapan dengan kekuatan arus utama neoliberalisme yang dimotori oleh korporasi global.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik inti sari bahwa lingkungan hidup yang sehat merupakan hak hidup yang mendasar dan harus dilindungi. Namun dengan berlakunya system pasar secara global yang dikenal dengan istilah globalisasi yang dimotori oleh korporasi modal dengan hegemoni dan eksploitasi yang berlebihan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah dan secara otomatis menimbulkan kerugian terhadap komunitas masyarakat dunia ketiga.
Di dalam komunitas-komunitas yang dirugikan tersebut terdapat kelompok-kelompok dan golongan - golongan yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan kelompok- kelompok dan golongan-golongan yang lain. Dan dalam hal ini, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko dan berpotensi mengalami penderitaan lebih dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain. Doktrin hukum Hak Asasi Manusia (HAM) mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok rentan dan tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups).
Dengan kenyataan inilah, maka muncul gerakan feminist yang bergerak dalam perjuangan perempuan secatra umum yang dalam bidang hukuim lahir gerakan feminist legal atau jurisprudence feminist. Dalam gerakan atau aliran hukum ini lebih menekankan pada Feminist Legal Theory yang menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hokum berperspektif feminis dan praktik hokum berperspektif feminis.
Teori hokum berperspektif feminis membantu memetakan persoalan-persoalan yang terkait dengan adanya kebutuhan untuk menangani persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan di hadapan hokum. Untuk itu karakteristik dasar teori hokum berperpektif feminis menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan substansi hokum lingkungan. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (i) mengubah pandangan bahwa hokum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (ii) mengidentifikasi implikasi hokum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (iii) bagaimana hokum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas. Kemudian praktik hokum yang berperspektif femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus sebagai berikut: pertama, bagaimana hokum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan terhadap mereka. Kedua, bagaimana hokum digunakan untuk meningkatkan posisi social perempuan.
Saran
Dengan penjelasan diatas dapat direkomendasikan beberapa strategi yang harus dilakukan, yaitu,
Dengan mengubah struktur patriarkis yang tidak adil bagi kaum perempuan, menjadi lebih adil, politik pengelolaan lingkungan (termasuk agraria) diarahkan untuk menjamin tegaknya hak-hak perempuan atas pengelolaan lingkungan. Ini berarti menjadikan kepentingan, pengalaman, dan pengetahuan kaum perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perumusan dan pelaksanaan politik pengelolaan lingkungan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan berkemanusiaan.
Gerakan perempuan dan lingkungan yang kuat, sudah semestinya mengagendakan upaya-upaya advokasi menuntut tanggungjawab negara memenuhi hak-hak, dan penolakan terhadap skenario neoliberalisme yang sangat merugikan rakyat (perempuan).
Dalam hal sistem hukum, perlu dilakukan reformasi hukum lingkungan, untuk menjawab tumpang tindihnya kebijakan (perundang-undangan) dan ketidakberpihakan hukum pada rakyat miskin pedesaan khususnya kaum perempuan, ini bisa dilakukan dengan memakai pendekatan analisis feminist legal theory.

1 Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber
Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001, hal. 1
2 Saat Freeport belum masuk, perempuan asli mungkin sekali tidak merasakan beban kehidupan yang berat. Namun ketika Freeport masuk, dampak yang dirasakan oleh perempuan lebih berat dibandingkan dengan laki-laki. Pembedaan secara tradisional ternyata menimbulkan kesengsaraan bagi peempuan saat terjadi perubahan. Karena perempuan harus mengurus makan keluarga maka kerja perempuan menjadi lebih berat saat lingkungan rusak oleh pertambangan.
3 M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005, hal. 50
4 Salah satu aspek yang diatur oleh WTO adalah perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI)/Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs). TRIPs merupakan
instrumen hukum internasional untuk melindungi kekayaan intelektual dan penemuan termasuk makhluk hidup yang salah satunya adalah benih atau varietas pertanian. Dengan hak paten atas mahkluk hidup, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang telah dipatenkan. Lihat Posisi Koalisi Ornop terhadap WTO dalam Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal. 38
5 Deregulasi berarti kemauan pemerintah untuk menyerahkan kedaulatannya demi keuntungan korporasi transnasional dan para operator pasar keuangan. Lihat Susan George, Republik Pasar Bebas, Jakarta, INFID, 2002, hal. 18
6 Pandangan yang selama ini dominant mengenai konsep pertanggungjawaban (liability) dalam hal
pelanggaran HAM berpusat pada negara (state-centric paradigm) yang menempatkan negara sebagai
pelaku utama yang bertanggung jawab untuk menjamin dan melindungi HAM. Inilah konsep yang dikenal dengan state responsibility. Namun seiring dengan kecenderungan pergerakan investasi asing yang mengglobal untuk mengekspolitasi sumber daya alam di negara lain, maka langsung atau tidak langsung korporasi global terlibat dalam pelanggaran HAM baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Kondisi demikian merubah state-centric paradigm dalam pelanggaran HAM. Tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM sudah seharusnya mempertimbangkan actor-aktor baru apakah korporasi global, IMF, WTO sebagai subyek hak dan kewajiban (right and duty holder). Lihat Ifdhal Kasim, op. cit, hal. 26-29
7 ibid
8 Ridha Saleh, op. cit, hal. 34
9 Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) yang secara sui generismengatur hak-hak perempuan menegaskan bahwa perempuan harus sejajar dengan laki-laki dalam pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, dan sipil. Terkait dengan permasalahan hak atas lingkungan maka berdasarkan interpretasi terhadap hak atas hidup, maka pemenuhan hak-hak politik, sipil, ekonomi, social, dan budaya menjadi conditio sina quanon. Interpretasi ini diperlukan karena CEDAW tidak secara khusus mengatur hak perempuan atas lingkungan dan memformulasikan hak atas lingkungan ke dalam pasal-pasalnya.
10 Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup, op. cit, hal. 25
11 M. Ridha Saleh, op. cit, hal. 31
12 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga mengaskan hal yang serupa khususnya ketentuan Pasal 9 (3) bagian hak atas hidup : Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
13 Rio Ismail, Risma Umar, Titi Soentoro, Suara Mayoritas yang Samar : Studi tentang Respon PartaPolitik terhadap Kepentingan Perempuan Menjelang Pemilu 2004, Jakarta, Solidaritas perempuan, 2004, hal. 13 - 21
14 ibid
15 Bagi perempuan kehilangan wilayah kelola memiliki dampak pada semakin tingginya beban kerja dan menurunkan pendapatan yang berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan kekerasan. Perempuan dalam masyarakat patriarki merupakan tulang punggung mengelola rumah tangga sehingga merupakan pihak yang paling merasakan penderitaan tersebut. Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal. 47
16 Arimbi Heroepoetri, R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme vs Neoliberalisme, Jakarta, WATCH Indonesia dan Institut Perempuan, 2004, hal. 17-19
17 Lebih lanjut Warren menawarkan feminisme transformatif untuk menyikapi kegagalan 4 (empat) cabang pemikiran feminis – liberal, marxis, radikal, dan sosialis – untuk melaksanakan praktik ekofeminisme. Feminisme transformatif mempunyai 6 (enam) karakteristik: (1) feminisme transformatif mengakui dan mengeksplisitkan saling keterkaitaan antara semua sistem opresi; (2) menekankan keberagaman pengalaman perempuan; (3) menolak logika dominasi; (4) memikirkan ulang apa artinya menjadi manusia; (5) bergantung pada etika yang menekankan nilai-nilai etika “feminin” tradisional yang cenderung untuk menjalin, saling menghubungkan, dan menyatukan manusia; dan (6) ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan untuk menjaga kelangsungan bumi. Lihat Rosemarrie Putnam Tong, Feminis Thought, Yogyakarta, Jalasutra, 2005, 366 – 391
18 Ratna Kapoor, Pendekatan Hukum Berperspektif Gender, disarikan dan diterjemahkan oleh sri Wiyanti Eddyono, dalam Materi Pelatihan HAM bagi Pengacara Angkatan VII, Jakarta, Elsam, 2002
19 ibid20 Ratna Kapoor, op.cit.

Perlindungan Terhadap Hak Perempuan Atas Lingkungan Yang Sehat Dari Perspektif Feminist Legal Theory

Oleh : Muh. Irsyadi Ramadhany
abstrak
Realitas keterpurukan kualitas lingkungan hidup dewasa ini menjadi realitas yang menimpa jutaan perempuan Indonesia dan di belahan dunia ketiga lainnya, kerusakan lingkungan hidup memperlihatkan dengan sangat jelas betapa skenario globalisasi lewat politik pengelolaan lingkungan yang patriarkis meminggirkan dan menyebabkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Dan oleh karenanya, sangat penting untuk melihat keterkaitan yang sangat kuat antara perempuan dan lingkungan, serta membangun kehidupan dengan nilai-nilai ekologis, feminis, dan sosialis. Kajian penyusunan tulisan ini ini akan terfokus pada pembahasan secara umum mengenai pengaruh globalisasi terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup yang berdampak langsung pada penderitaan kaum perempuan. Penyusunan tulisan ini ditujukan untuk memberikan tindakan solutif dan konstruktif terhadap pelestarian lingkungan dengan pendekatan Feminist Legal Theory.
Latar Belakang
Tantangan terhadap kelestarian lingkungan hidup kini menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh manusia, bahkan ini sudah menjadi masalah yang menembus batas-batas negara.,dan mempertaruhkan eksistensi manusia di muka bumi. Manusia hanyalah salah satu unsur dalam mata rantai kehidupan di bumi, yang menyebabkan ketergantungan pada sistem planet bumi sebagai life-support system Sifat kebergantungan manusia terhadap lingkungannya ini dikuasai oleh hukum-hukum ekologi.
Kerusakan lingkungan sudah menjadi masalah yang mendesak bagi manusia, karena dalam hal ini manusia menjadi pelaku sekaligus korbannya. Keadaan dewasa ini telah membuat lingkungan yang kita huni terancam oleh potensi krisis lingkungan di depan mata kita.
Kerusakan lingkungan hidup telah terjadi dalam bermacam bentuk dan dari berbagai sector, seperti sector pertanian, (ke) hutan (an), lahan peternakan, bahkan termasuk meminggirkan cara rakyat bertahan hidup yang telah lama ada (yang dianggap tradisionil dan kuno).1 Keadaan tersebut terjadi hampir secara umum, bukan hanya dibagian pedesaan atau daerah sekitar tambang, tapi kondisi serupa juga dialami oleh rakyat miskin kota, penggusuran hunian sudah umum terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Dengan alasan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, kegiatan penggusuran pun semakin massif, dan kondisi ini merupakan indikasi betapa tata ruang kota sebagai salah satu aspek dari tata lingkungan yang bersifat makro tidak mengakomodasi hak rakyat yang bersifat mendasar.
Secara garis besar, terdapat 3 (tiga) kerusakan lingkungan yang sangat urgen terhadap kualitas hidup manusia. Pertama, adalah industri pertanian global, kedua, industri pertambangan, dan ketiga, adalah industri kehutanan. Dalam konteks tata ruang kota, gejala transformasi ruang publik menjadi ruang privat merefleksikan komodifikasi ruang hidup dan ruang sosial yang cenderung melahirkan proses pemarjinalan dan mengorbankan rakyat miskin kota.
Pada titik klimaknya, dapat dipahami secara sederhana bahwa, apabila suatu komunitas dimarjinalkan dari wilayah kehidupannya, maka secara otomatis pula, di dalam komunitas-komunitas tersebut terdapat kelompok-kelompok dan golongan - golongan yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan kelompok- kelompok dan golongan-golongan yang lain.
Dalam kenyataannya, dalam proses perusakan lingkungan, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko dan berpotensi mengalami penderitaan lebih dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain.2 Kelompok dan golongan tersebut lebih rentan menjadi korban karena secara tradisional mereka telah menjadi sasaran proses dan perlakuan diskriminasi (kultur maupun secara struktur yang sistematis). Doktrin hukum Economic, Social, And Cultural Committee United Nations Hak Asasi Manusia (HAM) mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok rentan dan tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups).
Rumusan Masalah
Tulisan ini lebih menekankan pada deskripsi perempuan sebagai korban atas kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat globalisasi ekonomi dan kemudian mentautkannya dengan HAM khususnya hak asasi perempuan. Sebagai pisau analisis, Perspektif feminist legal theory menjadi landasan untuk memetakan sampai sejauh mana keberpihakan kebijakan/hukum di sektor lingkungan berpihak pada perempuan.
Dampak Globalisasi Ekonomi terhadap Lingkungan
Prinsip globalisasi mengandung dua dimensi pokok yakni, dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization), dan dimensi politik dan negara (political and state globalization).3 Kedua dimensi tersebut digerakkan melalui tiga mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s), kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational korporation/MNC).
Dengan mesin globalisasi tersebut, negara-negara maju menancapkan hegemoni mereka untuk mengeksploitasi sumber-sumber (alam) di dunia. Dengan lembaga WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia.4 Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Dan dengan system sentralisasi modal IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Demikian juga halnya dengan tata ruang kota yang hanya memfasilitasi kepentingan pemodal melalui sentra-sentra bisnis dan sebagai konsekwensinya terjadi penggusuran hunian masyarakat miskin kota yang pada akhirnya terjadi kecenderungan komodifikasi ruang-ruang publik sebagai gerak utama kapitalisme.
Bila dikaitkan dengan perspektif hukum HAM, kondisi lingkungan dan kehidupan sosial dunia seperti di atas dapat melahirkan 2 (dua) kelompok sosoal di mana pihak yang satu menjadi pelaku, sementara pihak yang lain menjadi korban. Pihak pelaku selalu dilekati dengan kekuasaan (power) yang bisa bersumber dari toritas/kewenangan dan bisa juga berasal dari kekuatan modal. Yang pertama melekat pada negara/pemerintah, sedangkan yang kedua biasanya melekat pada korporasi. Kelompok-kelompok inilah yang memegang peranan yang dominant dalam menentukan dan memperoleh keuntungan yang besar. Pihak korban yang pasti tidak memiliki kedua-duanya atau tuna kuasa (powerless). Kelompok ini seringkali disebut masyarakat sipil (civil society). Secara konseptual terdapat 3 (tiga) negara dengan ukuran, kekuatan, dan kekuasaan negara yang bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat, yakni : Masyarakat sipil, Negara, dan Pasar.
Dalam konteks globalisasi, posisi Negara cenderung melemah dalam bekerja untuk memberikan layanan dasar. Pintu masuknya melalui deregulasi5 yang membebaskan pasar dari otoritas negara. liberalisasi ekonomi, penyesuaian Negara dan kebijakan privatisasi yang dilakukan negara malahan memperkuat peran pasar dan Dengan deregulasi terjadi pergeseran locus otoritas dari negara ke tangan pemilik modal. Akibatnya terjadi ketidak seimbangan peran, kekuatan, dan kekuasaan dari ketiga negara tersebut dan memposisikan sivil society yang secara konsep pemegang kedaulatan justru sebagai kelompok yang lemah.
Dalam titik ini negara yang seharusnya mempunyai kewajiban utama memenuhi HAM warganya gagal menjalani hakikat fungsi filosofi negara yakni mensejahterakan warga negaranya. Dampak kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat beroperasinya korporasi global menempatkan korporasi global sebagai pelaku pelanggaran HAM.6 Matthew Lippman mengetengahkan 4 (empat) factor bagi masuknya korporasi global sebagai actor yang berkewajiban menjamin dan melindungi HAM yang tertuang dalam berbgai konvensi HAM. Keempat argument tersebut meliputi : kekuasaan ekonomi perusahaan multi nasional, sifat internasional dari perusahaan multinasional, dampak operasi perusahaan multi nasional, dan terbatasnya kemampuan negara-negara berkembang dalam mengatur tingkah laku perusahaan multinasional.7
Prinsip pertanggung jawaban korporasi global menjadi penting karena 2 (dua) alasan pokok: pertama, dokumen ini dianggap oleh banyak komentator merupakan sebuah langkah maju yang diambil PBB – dalam hal ini Komisi HAM – untuk menegaskan prinsip-prinsip hukum internasional yang (dapat) diterapkan pada negara bisnis. Hukum internasional yang dimaksud, meliputi hukum hak asasi manusia, humaniter, perburuhan, lingkungan hidup, konsumen, dan hukum anti-korupsi. Kedua, dokumen ini memberikan norma sekaligus alat analisis untuk menilai apakah sebuah korporasi melanggar HAM.
Hak Asasi Perempuan atas Lingkungan Hidup yang Sehat
Kesadaran mengenai keterpautan antara HAM dengan lingkungan dipicu oleh tingginya laju perusakan lingkungan secara global yang diakibatkan oleh pertumbuhan industri yang cepat di bidang kehutanan, kelautan, energi, dan pertambangan. Perusakan ini pada gilirannya memustahilkan penikmatan atau pemenuhan HAM, yang tidak hanya terbatas pada hak-hak ekonomi, social, dan budaya, tetapi juga mencakup hak-hak sipil dan politik. Berdasarkan doktrin hokum HAM internasional, menurut Karel Vasak, hak atas lingkungan hidup merupakan salah satu hak yang termasuk dalam kategori generasi ketiga di mana yang mendapatkan perlindungan tidak hanya hak yang bersifat individu tetapi juga hak-hak kolektif. Paul Sieghart mengidentifikasi sedikitnya 6 (enam) golongan hak-hak kolektif, yaitu : (i) hak atas penentuan nasib sendiri; (ii) hak atas perdamaian dan keamanan internasional; (iii) hak untuk menggunakan kekayaan dan sumber daya alam; (iv) hak atas pembangunan; (v) hak kaum minoritas, dan (vi) hak atas lingkungan hidup.8 Perkembangan terkini, berdasarkan Konvensi HAM Wina 1993, tidak terdapat lagi perbedaan kategorisasi HAM berdasarkan perkembangan generasi, kepentingan yang dilindungi, maupun dikotomi antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, social, dan budaya karena HAM pada prinsipnya saling terkait (interdependence) dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).
Dalam kerangka pemenuhan dan perlindungan hak perempuan, maka instrument hokum HAM internasional menjadi pijakan karena hak asasi perempuan merupakan bagian dari HAM secara umum9 Keberadaan hak atas lingkungan sebagai salah satu hak sudah tercakup pada pasal 28 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 12 (b) Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Meskipun formulasinya terbilang sangat abstract.10
Untuk itu hak atas lingkungan harus diinterpretasikan secara luas sebagai hak
untuk memperoleh mutu atau kondisi lingkungan yang baik dan sehat, dalam arti tidak dibatasi hanya menyangkut obyek ruang berupa bumi, air, dan udara. Namun hak atas lingkungan hidup harus menegaskan pula penjaminan yang meliputi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan bagi subyek lingkungan hidup.11
Meskipun hak atas lingkungan hidup dalam instrument hokum HAM tidak diatur dan diformulasikan secara khusus, namun hokum nasional telah mengakui hak atas lingkungan hidup secara expressive verbis, malahan telah menjadi bagian hak konstitusional setiap warga Negara Indonesia. Pasal 28 H UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.12 Karena hak atas lingkungan telah mendapatkan tempat secara yuridis baik dilevel internasional maupun nasional, maka hak atas lingkungan merupakan hak yang justiciable dan enforceability. Artinya hak ini merupakan hak hokum yang apat dieksaminasi melalui prosedur institusi peradilan baik di level domestic maupun internasional.
Perspektif Feminist Legal Theory terhadap Substansi Hukum Lingkungan
Sebelum membahas lebih jauh analisis pelanggaran HAM dari perspektifmfeminist legal theory, dan untuk mendeteksi apakah perempuan merupakan suborsinasi sekaligus menjadi korban dalam pengelolaan dan perusakan lingkungan hidup, terlebih dahulu dijelaskan mengenai devinisi dari korban pelanggaran HAM. Secara umum, korban pelanggaran HAM didefisinikan melalui studi van Boven dengan merujuk pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekeuasaan (Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power) . Korban didefisinikan sebagai berikut : Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission)…
Perlu ditegaskan bahwa korban dalam pengertian yang digunakan dalam deklarasi di atas bukan hanya terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalami secara langsung, tetapi juga mencakup orang-orang yang secara tidak langsung menjadi korban seperti kelurga korban, orang yang menjadi tanggungannya atau orang dekatnya (their relatives), dan orang-orang yang membantu atau mencegah agar tidak menjadi korban.
Dalam konteks kerusakan lingkungan penderitaan yang melingkupi perempuan dapat di analisis menggunakan analisis feminis sebagai beikut : stereotipi, dominasi, diskriminasi, beban ganda, dan kekerasan.13
Bagi perempuan kerusakan lingkungan di kawasan industri Mobil Oil (Aceh), Freeport (Papua), Newmont Minahasa (Sulaewsi Utara), dan Newmont Nusa Tenggara (NTB) jika dianalisis dengan pisau feminis berdampak berlipat ganda dan berefek domino ketika model kekerasan yang patriarkhi dan militeristik berpadu dengan factor kekuatan modal internasional. Di desa Buyat Pantai, Sulawesi Utara, lokasi pembuangan limbah penambangan emas PT Newmont Minaha misalnya, beberapa perempuan dan anak-anak seperti kehilangan harapan hidup karena tidak mampu lagi menghadapi proses pemiskinan akibat hancurnya perairan tempat menangkap ikan.14 Kondisi ini merefleksikan 2 (dua) persoalan besar sebagai akibat dari konflik kepentingan antara rakyat dan investasi yang berdampak pada perempuan, yakni pertama kehilangan tanah (wilayah kelola) dan kedua kerusakan lingkungan.15
Dalam aturan hukum seputar pengelolaan lingkungan hidup, seperti kasus terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang memberikan ijin kepada perusahaan tambang untuk membuka tambang terbuka di kawasan hutan lindung berdampak pada kerusakan lingkungan dan lebih jauh berdampak pada penderitaan perempuan. Jika kerusakan lingkungan ditilik berdasarkan perspektif feminis maka harus dilihat penderitaan perempuan secara personal. Mengingat perspektif feminisme menjunjung nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman personal, rumusan tentang diri sendiri, kekuasaan personal, dan otentitas.16
Dalam konteks lingkungan hidup, terdapat keterpautan antara pola dominasi terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap alam. Dalam titik ini muncul aliran ekofiminisme. Karen J. Warren menspesifikan lebih jauh asumsi dasar dari ekofeminisme yang meliputi : (1) ada keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (2) pemahaman terhadap alam dalam kaitan ini
adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (3) teori dan praktik feminisme harus memasukkan perspektif ekologi; dan (4) pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminisme.17
Terkait dengan perspektif feminisme, maka untuk melihat suatu substansi peraturan perundang-undangan berperspektif feminis atau tidak, termasuk hokum lingkungan atau hokum yang terkait dengan aspek lingkungan, dapat mempergunakan pisau analisis Feminist Legal Theory. Feminist Legal Theory menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hokum berperspektif feminis dan praktik hokum berperspektif feminis.18
Teori hokum berperspektif feminis membantu memetakan persoalan-persoalan yang terkait dengan adanya kebutuhan untuk menangani persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan di hadapan hokum. Untuk itu karakteristik dasar teori hokum berperpektif feminis menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan substansi hokum lingkungan. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (a) mengubah pandangan bahwa hokum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (b) mengidentifikasi implikasi hokum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (c) bagaimana hokum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas. Kemudian praktik hokum yang berperspektif femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus sebagai berikut: pertama, bagaimana hokum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan terhadap mereka. Kedua, bagaimana hokum digunakan untuk meningkatkan posisi social perempuan.19
Jika substansi hokum lingkungan dianalisis dengan perspektif feminist legal theory maka perspektif ini dapat dipergunakan untuk mengeksaminasi sampai sejauh mana substansi tersebut berpihak pada perempuan atau malah menyumbang terjadinya subordinasi terhdap perempuan. Dalam kerangka ini maka analisis substansi, proses pembentukan hokum, metode pemikiran hokum dan epistemology hokum yang berobyek lingkungan perlu dilakukan.20 Di samping itu upaya mengajukan permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada perempuan melalui proses penyelesaian melalui mekanisme hokum, baik melalui pengadilan maupun alternative dispute resolution perlu terus diupayakan. Upaya ini dilakukan dengan landasan bahwa hak perempuan atas lingkungan hidup yang sehat bersifat justiciable dan enforceable dalam arti kata dapat diputuskan pemenuhannya lewat pengadilan dan dipaksa pemenuhannya lewat sebuah vonis hakim karena pelanggaran HAM menerbitkan upaya pemulihan bagi korbannya.
Terkait dengan upaya pemulihan korban, studi van Boven mengemukakan bahwa hak-hak korban pelanggaran HAM secara komprehensif tidak hanya terbatas pada hak untuk tahu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice), tetapi mencakup juga hak atas reparasi (right to reparation). Pemulihan adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM. Aspek-aspek pemulihan bagi korban meliputi kompensasi yaitu suatu kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan tanah. Yang kedua adalah retitusi yaitu kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian baiaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri, kemudian yang ketiga adalah rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan social. Kepuasan (satisfaction) dan jaminan terhadap tidak terulanginya lagi pelanggaran (guarantees of non-repetition), kewajiban ini merupakan kewajiban nagara dalam bentuk rehabilitasi.
Dalam point ini dapat terlihat apakah aturan atas hak lingkungan yang baik dan sehat yang telah menjadi hak konstitusional bisa efektif berhadapan dengan kekuatan arus utama neoliberalisme yang dimotori oleh korporasi global.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik inti sari bahwa lingkungan hidup yang sehat merupakan hak hidup yang mendasar dan harus dilindungi. Namun dengan berlakunya system pasar secara global yang dikenal dengan istilah globalisasi yang dimotori oleh korporasi modal dengan hegemoni dan eksploitasi yang berlebihan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah dan secara otomatis menimbulkan kerugian terhadap komunitas masyarakat dunia ketiga.
Di dalam komunitas-komunitas yang dirugikan tersebut terdapat kelompok-kelompok dan golongan - golongan yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan kelompok- kelompok dan golongan-golongan yang lain. Dan dalam hal ini, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko dan berpotensi mengalami penderitaan lebih dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain. Doktrin hukum Hak Asasi Manusia (HAM) mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok rentan dan tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups).
Dengan kenyataan inilah, maka muncul gerakan feminist yang bergerak dalam perjuangan perempuan secatra umum yang dalam bidang hukuim lahir gerakan feminist legal atau jurisprudence feminist. Dalam gerakan atau aliran hukum ini lebih menekankan pada Feminist Legal Theory yang menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hokum berperspektif feminis dan praktik hokum berperspektif feminis.
Teori hokum berperspektif feminis membantu memetakan persoalan-persoalan yang terkait dengan adanya kebutuhan untuk menangani persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan di hadapan hokum. Untuk itu karakteristik dasar teori hokum berperpektif feminis menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan substansi hokum lingkungan. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (i) mengubah pandangan bahwa hokum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (ii) mengidentifikasi implikasi hokum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (iii) bagaimana hokum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas. Kemudian praktik hokum yang berperspektif femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus sebagai berikut: pertama, bagaimana hokum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan terhadap mereka. Kedua, bagaimana hokum digunakan untuk meningkatkan posisi social perempuan.
Saran
Dengan penjelasan diatas dapat direkomendasikan beberapa strategi yang harus dilakukan, yaitu,
Dengan mengubah struktur patriarkis yang tidak adil bagi kaum perempuan, menjadi lebih adil, politik pengelolaan lingkungan (termasuk agraria) diarahkan untuk menjamin tegaknya hak-hak perempuan atas pengelolaan lingkungan. Ini berarti menjadikan kepentingan, pengalaman, dan pengetahuan kaum perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perumusan dan pelaksanaan politik pengelolaan lingkungan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan berkemanusiaan.
Gerakan perempuan dan lingkungan yang kuat, sudah semestinya mengagendakan upaya-upaya advokasi menuntut tanggungjawab negara memenuhi hak-hak, dan penolakan terhadap skenario neoliberalisme yang sangat merugikan rakyat (perempuan).
Dalam hal sistem hukum, perlu dilakukan reformasi hukum lingkungan, untuk menjawab tumpang tindihnya kebijakan (perundang-undangan) dan ketidakberpihakan hukum pada rakyat miskin pedesaan khususnya kaum perempuan, ini bisa dilakukan dengan memakai pendekatan analisis feminist legal theory.

1 Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber
Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001, hal. 1
2 Saat Freeport belum masuk, perempuan asli mungkin sekali tidak merasakan beban kehidupan yang berat. Namun ketika Freeport masuk, dampak yang dirasakan oleh perempuan lebih berat dibandingkan dengan laki-laki. Pembedaan secara tradisional ternyata menimbulkan kesengsaraan bagi peempuan saat terjadi perubahan. Karena perempuan harus mengurus makan keluarga maka kerja perempuan menjadi lebih berat saat lingkungan rusak oleh pertambangan.
3 M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005, hal. 50
4 Salah satu aspek yang diatur oleh WTO adalah perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI)/Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs). TRIPs merupakan
instrumen hukum internasional untuk melindungi kekayaan intelektual dan penemuan termasuk makhluk hidup yang salah satunya adalah benih atau varietas pertanian. Dengan hak paten atas mahkluk hidup, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang telah dipatenkan. Lihat Posisi Koalisi Ornop terhadap WTO dalam Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal. 38
5 Deregulasi berarti kemauan pemerintah untuk menyerahkan kedaulatannya demi keuntungan korporasi transnasional dan para operator pasar keuangan. Lihat Susan George, Republik Pasar Bebas, Jakarta, INFID, 2002, hal. 18
6 Pandangan yang selama ini dominant mengenai konsep pertanggungjawaban (liability) dalam hal
pelanggaran HAM berpusat pada negara (state-centric paradigm) yang menempatkan negara sebagai
pelaku utama yang bertanggung jawab untuk menjamin dan melindungi HAM. Inilah konsep yang dikenal dengan state responsibility. Namun seiring dengan kecenderungan pergerakan investasi asing yang mengglobal untuk mengekspolitasi sumber daya alam di negara lain, maka langsung atau tidak langsung korporasi global terlibat dalam pelanggaran HAM baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Kondisi demikian merubah state-centric paradigm dalam pelanggaran HAM. Tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM sudah seharusnya mempertimbangkan actor-aktor baru apakah korporasi global, IMF, WTO sebagai subyek hak dan kewajiban (right and duty holder). Lihat Ifdhal Kasim, op. cit, hal. 26-29
7 ibid
8 Ridha Saleh, op. cit, hal. 34
9 Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) yang secara sui generismengatur hak-hak perempuan menegaskan bahwa perempuan harus sejajar dengan laki-laki dalam pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, dan sipil. Terkait dengan permasalahan hak atas lingkungan maka berdasarkan interpretasi terhadap hak atas hidup, maka pemenuhan hak-hak politik, sipil, ekonomi, social, dan budaya menjadi conditio sina quanon. Interpretasi ini diperlukan karena CEDAW tidak secara khusus mengatur hak perempuan atas lingkungan dan memformulasikan hak atas lingkungan ke dalam pasal-pasalnya.
10 Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup, op. cit, hal. 25
11 M. Ridha Saleh, op. cit, hal. 31
12 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga mengaskan hal yang serupa khususnya ketentuan Pasal 9 (3) bagian hak atas hidup : Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
13 Rio Ismail, Risma Umar, Titi Soentoro, Suara Mayoritas yang Samar : Studi tentang Respon PartaPolitik terhadap Kepentingan Perempuan Menjelang Pemilu 2004, Jakarta, Solidaritas perempuan, 2004, hal. 13 - 21
14 ibid
15 Bagi perempuan kehilangan wilayah kelola memiliki dampak pada semakin tingginya beban kerja dan menurunkan pendapatan yang berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan kekerasan. Perempuan dalam masyarakat patriarki merupakan tulang punggung mengelola rumah tangga sehingga merupakan pihak yang paling merasakan penderitaan tersebut. Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal. 47
16 Arimbi Heroepoetri, R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme vs Neoliberalisme, Jakarta, WATCH Indonesia dan Institut Perempuan, 2004, hal. 17-19
17 Lebih lanjut Warren menawarkan feminisme transformatif untuk menyikapi kegagalan 4 (empat) cabang pemikiran feminis – liberal, marxis, radikal, dan sosialis – untuk melaksanakan praktik ekofeminisme. Feminisme transformatif mempunyai 6 (enam) karakteristik: (1) feminisme transformatif mengakui dan mengeksplisitkan saling keterkaitaan antara semua sistem opresi; (2) menekankan keberagaman pengalaman perempuan; (3) menolak logika dominasi; (4) memikirkan ulang apa artinya menjadi manusia; (5) bergantung pada etika yang menekankan nilai-nilai etika “feminin” tradisional yang cenderung untuk menjalin, saling menghubungkan, dan menyatukan manusia; dan (6) ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan untuk menjaga kelangsungan bumi. Lihat Rosemarrie Putnam Tong, Feminis Thought, Yogyakarta, Jalasutra, 2005, 366 – 391
18 Ratna Kapoor, Pendekatan Hukum Berperspektif Gender, disarikan dan diterjemahkan oleh sri Wiyanti Eddyono, dalam Materi Pelatihan HAM bagi Pengacara Angkatan VII, Jakarta, Elsam, 2002
19 ibid20 Ratna Kapoor, op.cit.

Minggu, 03 Mei 2009

Perlindungan Terhadap Hak Perempuan Atas Lingkungan Yang Sehat Dari Perspektif Feminist Legal Theory

Oleh : Muh. Irsyadi Ramadhany
abstrak
Realitas keterpurukan kualitas lingkungan hidup dewasa ini menjadi realitas yang menimpa jutaan perempuan Indonesia dan di belahan dunia ketiga lainnya, kerusakan lingkungan hidup memperlihatkan dengan sangat jelas betapa skenario globalisasi lewat politik pengelolaan lingkungan yang patriarkis meminggirkan dan menyebabkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Dan oleh karenanya, sangat penting untuk melihat keterkaitan yang sangat kuat antara perempuan dan lingkungan, serta membangun kehidupan dengan nilai-nilai ekologis, feminis, dan sosialis. Kajian penyusunan tulisan ini ini akan terfokus pada pembahasan secara umum mengenai pengaruh globalisasi terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup yang berdampak langsung pada penderitaan kaum perempuan. Penyusunan tulisan ini ditujukan untuk memberikan tindakan solutif dan konstruktif terhadap pelestarian lingkungan dengan pendekatan Feminist Legal Theory.
Latar Belakang
Tantangan terhadap kelestarian lingkungan hidup kini menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh manusia, bahkan ini sudah menjadi masalah yang menembus batas-batas negara.,dan mempertaruhkan eksistensi manusia di muka bumi. Manusia hanyalah salah satu unsur dalam mata rantai kehidupan di bumi, yang menyebabkan ketergantungan pada sistem planet bumi sebagai life-support system Sifat kebergantungan manusia terhadap lingkungannya ini dikuasai oleh hukum-hukum ekologi.
Kerusakan lingkungan sudah menjadi masalah yang mendesak bagi manusia, karena dalam hal ini manusia menjadi pelaku sekaligus korbannya. Keadaan dewasa ini telah membuat lingkungan yang kita huni terancam oleh potensi krisis lingkungan di depan mata kita.
Kerusakan lingkungan hidup telah terjadi dalam bermacam bentuk dan dari berbagai sector, seperti sector pertanian, (ke) hutan (an), lahan peternakan, bahkan termasuk meminggirkan cara rakyat bertahan hidup yang telah lama ada (yang dianggap tradisionil dan kuno).1 Keadaan tersebut terjadi hampir secara umum, bukan hanya dibagian pedesaan atau daerah sekitar tambang, tapi kondisi serupa juga dialami oleh rakyat miskin kota, penggusuran hunian sudah umum terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Dengan alasan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, kegiatan penggusuran pun semakin massif, dan kondisi ini merupakan indikasi betapa tata ruang kota sebagai salah satu aspek dari tata lingkungan yang bersifat makro tidak mengakomodasi hak rakyat yang bersifat mendasar.
Secara garis besar, terdapat 3 (tiga) kerusakan lingkungan yang sangat urgen terhadap kualitas hidup manusia. Pertama, adalah industri pertanian global, kedua, industri pertambangan, dan ketiga, adalah industri kehutanan. Dalam konteks tata ruang kota, gejala transformasi ruang publik menjadi ruang privat merefleksikan komodifikasi ruang hidup dan ruang sosial yang cenderung melahirkan proses pemarjinalan dan mengorbankan rakyat miskin kota.
Pada titik klimaknya, dapat dipahami secara sederhana bahwa, apabila suatu komunitas dimarjinalkan dari wilayah kehidupannya, maka secara otomatis pula, di dalam komunitas-komunitas tersebut terdapat kelompok-kelompok dan golongan - golongan yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan kelompok- kelompok dan golongan-golongan yang lain.
Dalam kenyataannya, dalam proses perusakan lingkungan, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko dan berpotensi mengalami penderitaan lebih dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain.2 Kelompok dan golongan tersebut lebih rentan menjadi korban karena secara tradisional mereka telah menjadi sasaran proses dan perlakuan diskriminasi (kultur maupun secara struktur yang sistematis). Doktrin hukum Economic, Social, And Cultural Committee United Nations Hak Asasi Manusia (HAM) mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok rentan dan tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups).
Rumusan Masalah
Tulisan ini lebih menekankan pada deskripsi perempuan sebagai korban atas kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat globalisasi ekonomi dan kemudian mentautkannya dengan HAM khususnya hak asasi perempuan. Sebagai pisau analisis, Perspektif feminist legal theory menjadi landasan untuk memetakan sampai sejauh mana keberpihakan kebijakan/hukum di sektor lingkungan berpihak pada perempuan.
Dampak Globalisasi Ekonomi terhadap Lingkungan
Prinsip globalisasi mengandung dua dimensi pokok yakni, dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization), dan dimensi politik dan negara (political and state globalization).3 Kedua dimensi tersebut digerakkan melalui tiga mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s), kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational korporation/MNC).
Dengan mesin globalisasi tersebut, negara-negara maju menancapkan hegemoni mereka untuk mengeksploitasi sumber-sumber (alam) di dunia. Dengan lembaga WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia.4 Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Dan dengan system sentralisasi modal IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Demikian juga halnya dengan tata ruang kota yang hanya memfasilitasi kepentingan pemodal melalui sentra-sentra bisnis dan sebagai konsekwensinya terjadi penggusuran hunian masyarakat miskin kota yang pada akhirnya terjadi kecenderungan komodifikasi ruang-ruang publik sebagai gerak utama kapitalisme.
Bila dikaitkan dengan perspektif hukum HAM, kondisi lingkungan dan kehidupan sosial dunia seperti di atas dapat melahirkan 2 (dua) kelompok sosoal di mana pihak yang satu menjadi pelaku, sementara pihak yang lain menjadi korban. Pihak pelaku selalu dilekati dengan kekuasaan (power) yang bisa bersumber dari toritas/kewenangan dan bisa juga berasal dari kekuatan modal. Yang pertama melekat pada negara/pemerintah, sedangkan yang kedua biasanya melekat pada korporasi. Kelompok-kelompok inilah yang memegang peranan yang dominant dalam menentukan dan memperoleh keuntungan yang besar. Pihak korban yang pasti tidak memiliki kedua-duanya atau tuna kuasa (powerless). Kelompok ini seringkali disebut masyarakat sipil (civil society). Secara konseptual terdapat 3 (tiga) negara dengan ukuran, kekuatan, dan kekuasaan negara yang bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat, yakni : Masyarakat sipil, Negara, dan Pasar.
Dalam konteks globalisasi, posisi Negara cenderung melemah dalam bekerja untuk memberikan layanan dasar. Pintu masuknya melalui deregulasi5 yang membebaskan pasar dari otoritas negara. liberalisasi ekonomi, penyesuaian Negara dan kebijakan privatisasi yang dilakukan negara malahan memperkuat peran pasar dan Dengan deregulasi terjadi pergeseran locus otoritas dari negara ke tangan pemilik modal. Akibatnya terjadi ketidak seimbangan peran, kekuatan, dan kekuasaan dari ketiga negara tersebut dan memposisikan sivil society yang secara konsep pemegang kedaulatan justru sebagai kelompok yang lemah.
Dalam titik ini negara yang seharusnya mempunyai kewajiban utama memenuhi HAM warganya gagal menjalani hakikat fungsi filosofi negara yakni mensejahterakan warga negaranya. Dampak kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat beroperasinya korporasi global menempatkan korporasi global sebagai pelaku pelanggaran HAM.6 Matthew Lippman mengetengahkan 4 (empat) factor bagi masuknya korporasi global sebagai actor yang berkewajiban menjamin dan melindungi HAM yang tertuang dalam berbgai konvensi HAM. Keempat argument tersebut meliputi : kekuasaan ekonomi perusahaan multi nasional, sifat internasional dari perusahaan multinasional, dampak operasi perusahaan multi nasional, dan terbatasnya kemampuan negara-negara berkembang dalam mengatur tingkah laku perusahaan multinasional.7
Prinsip pertanggung jawaban korporasi global menjadi penting karena 2 (dua) alasan pokok: pertama, dokumen ini dianggap oleh banyak komentator merupakan sebuah langkah maju yang diambil PBB – dalam hal ini Komisi HAM – untuk menegaskan prinsip-prinsip hukum internasional yang (dapat) diterapkan pada negara bisnis. Hukum internasional yang dimaksud, meliputi hukum hak asasi manusia, humaniter, perburuhan, lingkungan hidup, konsumen, dan hukum anti-korupsi. Kedua, dokumen ini memberikan norma sekaligus alat analisis untuk menilai apakah sebuah korporasi melanggar HAM.
Hak Asasi Perempuan atas Lingkungan Hidup yang Sehat
Kesadaran mengenai keterpautan antara HAM dengan lingkungan dipicu oleh tingginya laju perusakan lingkungan secara global yang diakibatkan oleh pertumbuhan industri yang cepat di bidang kehutanan, kelautan, energi, dan pertambangan. Perusakan ini pada gilirannya memustahilkan penikmatan atau pemenuhan HAM, yang tidak hanya terbatas pada hak-hak ekonomi, social, dan budaya, tetapi juga mencakup hak-hak sipil dan politik. Berdasarkan doktrin hokum HAM internasional, menurut Karel Vasak, hak atas lingkungan hidup merupakan salah satu hak yang termasuk dalam kategori generasi ketiga di mana yang mendapatkan perlindungan tidak hanya hak yang bersifat individu tetapi juga hak-hak kolektif. Paul Sieghart mengidentifikasi sedikitnya 6 (enam) golongan hak-hak kolektif, yaitu : (i) hak atas penentuan nasib sendiri; (ii) hak atas perdamaian dan keamanan internasional; (iii) hak untuk menggunakan kekayaan dan sumber daya alam; (iv) hak atas pembangunan; (v) hak kaum minoritas, dan (vi) hak atas lingkungan hidup.8 Perkembangan terkini, berdasarkan Konvensi HAM Wina 1993, tidak terdapat lagi perbedaan kategorisasi HAM berdasarkan perkembangan generasi, kepentingan yang dilindungi, maupun dikotomi antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, social, dan budaya karena HAM pada prinsipnya saling terkait (interdependence) dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).
Dalam kerangka pemenuhan dan perlindungan hak perempuan, maka instrument hokum HAM internasional menjadi pijakan karena hak asasi perempuan merupakan bagian dari HAM secara umum9 Keberadaan hak atas lingkungan sebagai salah satu hak sudah tercakup pada pasal 28 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 12 (b) Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Meskipun formulasinya terbilang sangat abstract.10
Untuk itu hak atas lingkungan harus diinterpretasikan secara luas sebagai hak
untuk memperoleh mutu atau kondisi lingkungan yang baik dan sehat, dalam arti tidak dibatasi hanya menyangkut obyek ruang berupa bumi, air, dan udara. Namun hak atas lingkungan hidup harus menegaskan pula penjaminan yang meliputi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan bagi subyek lingkungan hidup.11
Meskipun hak atas lingkungan hidup dalam instrument hokum HAM tidak diatur dan diformulasikan secara khusus, namun hokum nasional telah mengakui hak atas lingkungan hidup secara expressive verbis, malahan telah menjadi bagian hak konstitusional setiap warga Negara Indonesia. Pasal 28 H UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.12 Karena hak atas lingkungan telah mendapatkan tempat secara yuridis baik dilevel internasional maupun nasional, maka hak atas lingkungan merupakan hak yang justiciable dan enforceability. Artinya hak ini merupakan hak hokum yang apat dieksaminasi melalui prosedur institusi peradilan baik di level domestic maupun internasional.
Perspektif Feminist Legal Theory terhadap Substansi Hukum Lingkungan
Sebelum membahas lebih jauh analisis pelanggaran HAM dari perspektifmfeminist legal theory, dan untuk mendeteksi apakah perempuan merupakan suborsinasi sekaligus menjadi korban dalam pengelolaan dan perusakan lingkungan hidup, terlebih dahulu dijelaskan mengenai devinisi dari korban pelanggaran HAM. Secara umum, korban pelanggaran HAM didefisinikan melalui studi van Boven dengan merujuk pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekeuasaan (Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power) . Korban didefisinikan sebagai berikut : Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission)…
Perlu ditegaskan bahwa korban dalam pengertian yang digunakan dalam deklarasi di atas bukan hanya terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalami secara langsung, tetapi juga mencakup orang-orang yang secara tidak langsung menjadi korban seperti kelurga korban, orang yang menjadi tanggungannya atau orang dekatnya (their relatives), dan orang-orang yang membantu atau mencegah agar tidak menjadi korban.
Dalam konteks kerusakan lingkungan penderitaan yang melingkupi perempuan dapat di analisis menggunakan analisis feminis sebagai beikut : stereotipi, dominasi, diskriminasi, beban ganda, dan kekerasan.13
Bagi perempuan kerusakan lingkungan di kawasan industri Mobil Oil (Aceh), Freeport (Papua), Newmont Minahasa (Sulaewsi Utara), dan Newmont Nusa Tenggara (NTB) jika dianalisis dengan pisau feminis berdampak berlipat ganda dan berefek domino ketika model kekerasan yang patriarkhi dan militeristik berpadu dengan factor kekuatan modal internasional. Di desa Buyat Pantai, Sulawesi Utara, lokasi pembuangan limbah penambangan emas PT Newmont Minaha misalnya, beberapa perempuan dan anak-anak seperti kehilangan harapan hidup karena tidak mampu lagi menghadapi proses pemiskinan akibat hancurnya perairan tempat menangkap ikan.14 Kondisi ini merefleksikan 2 (dua) persoalan besar sebagai akibat dari konflik kepentingan antara rakyat dan investasi yang berdampak pada perempuan, yakni pertama kehilangan tanah (wilayah kelola) dan kedua kerusakan lingkungan.15
Dalam aturan hukum seputar pengelolaan lingkungan hidup, seperti kasus terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang memberikan ijin kepada perusahaan tambang untuk membuka tambang terbuka di kawasan hutan lindung berdampak pada kerusakan lingkungan dan lebih jauh berdampak pada penderitaan perempuan. Jika kerusakan lingkungan ditilik berdasarkan perspektif feminis maka harus dilihat penderitaan perempuan secara personal. Mengingat perspektif feminisme menjunjung nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman personal, rumusan tentang diri sendiri, kekuasaan personal, dan otentitas.16
Dalam konteks lingkungan hidup, terdapat keterpautan antara pola dominasi terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap alam. Dalam titik ini muncul aliran ekofiminisme. Karen J. Warren menspesifikan lebih jauh asumsi dasar dari ekofeminisme yang meliputi : (1) ada keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (2) pemahaman terhadap alam dalam kaitan ini
adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; (3) teori dan praktik feminisme harus memasukkan perspektif ekologi; dan (4) pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminisme.17
Terkait dengan perspektif feminisme, maka untuk melihat suatu substansi peraturan perundang-undangan berperspektif feminis atau tidak, termasuk hokum lingkungan atau hokum yang terkait dengan aspek lingkungan, dapat mempergunakan pisau analisis Feminist Legal Theory. Feminist Legal Theory menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hokum berperspektif feminis dan praktik hokum berperspektif feminis.18
Teori hokum berperspektif feminis membantu memetakan persoalan-persoalan yang terkait dengan adanya kebutuhan untuk menangani persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan di hadapan hokum. Untuk itu karakteristik dasar teori hokum berperpektif feminis menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan substansi hokum lingkungan. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (a) mengubah pandangan bahwa hokum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (b) mengidentifikasi implikasi hokum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (c) bagaimana hokum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas. Kemudian praktik hokum yang berperspektif femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus sebagai berikut: pertama, bagaimana hokum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan terhadap mereka. Kedua, bagaimana hokum digunakan untuk meningkatkan posisi social perempuan.19
Jika substansi hokum lingkungan dianalisis dengan perspektif feminist legal theory maka perspektif ini dapat dipergunakan untuk mengeksaminasi sampai sejauh mana substansi tersebut berpihak pada perempuan atau malah menyumbang terjadinya subordinasi terhdap perempuan. Dalam kerangka ini maka analisis substansi, proses pembentukan hokum, metode pemikiran hokum dan epistemology hokum yang berobyek lingkungan perlu dilakukan.20 Di samping itu upaya mengajukan permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada perempuan melalui proses penyelesaian melalui mekanisme hokum, baik melalui pengadilan maupun alternative dispute resolution perlu terus diupayakan. Upaya ini dilakukan dengan landasan bahwa hak perempuan atas lingkungan hidup yang sehat bersifat justiciable dan enforceable dalam arti kata dapat diputuskan pemenuhannya lewat pengadilan dan dipaksa pemenuhannya lewat sebuah vonis hakim karena pelanggaran HAM menerbitkan upaya pemulihan bagi korbannya.
Terkait dengan upaya pemulihan korban, studi van Boven mengemukakan bahwa hak-hak korban pelanggaran HAM secara komprehensif tidak hanya terbatas pada hak untuk tahu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice), tetapi mencakup juga hak atas reparasi (right to reparation). Pemulihan adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM. Aspek-aspek pemulihan bagi korban meliputi kompensasi yaitu suatu kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan tanah. Yang kedua adalah retitusi yaitu kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian baiaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri, kemudian yang ketiga adalah rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan social. Kepuasan (satisfaction) dan jaminan terhadap tidak terulanginya lagi pelanggaran (guarantees of non-repetition), kewajiban ini merupakan kewajiban nagara dalam bentuk rehabilitasi.
Dalam point ini dapat terlihat apakah aturan atas hak lingkungan yang baik dan sehat yang telah menjadi hak konstitusional bisa efektif berhadapan dengan kekuatan arus utama neoliberalisme yang dimotori oleh korporasi global.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik inti sari bahwa lingkungan hidup yang sehat merupakan hak hidup yang mendasar dan harus dilindungi. Namun dengan berlakunya system pasar secara global yang dikenal dengan istilah globalisasi yang dimotori oleh korporasi modal dengan hegemoni dan eksploitasi yang berlebihan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah dan secara otomatis menimbulkan kerugian terhadap komunitas masyarakat dunia ketiga.
Di dalam komunitas-komunitas yang dirugikan tersebut terdapat kelompok-kelompok dan golongan - golongan yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan kelompok- kelompok dan golongan-golongan yang lain. Dan dalam hal ini, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko dan berpotensi mengalami penderitaan lebih dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain. Doktrin hukum Hak Asasi Manusia (HAM) mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok rentan dan tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups).
Dengan kenyataan inilah, maka muncul gerakan feminist yang bergerak dalam perjuangan perempuan secatra umum yang dalam bidang hukuim lahir gerakan feminist legal atau jurisprudence feminist. Dalam gerakan atau aliran hukum ini lebih menekankan pada Feminist Legal Theory yang menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hokum berperspektif feminis dan praktik hokum berperspektif feminis.
Teori hokum berperspektif feminis membantu memetakan persoalan-persoalan yang terkait dengan adanya kebutuhan untuk menangani persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan di hadapan hokum. Untuk itu karakteristik dasar teori hokum berperpektif feminis menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan substansi hokum lingkungan. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (i) mengubah pandangan bahwa hokum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (ii) mengidentifikasi implikasi hokum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (iii) bagaimana hokum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas. Kemudian praktik hokum yang berperspektif femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus sebagai berikut: pertama, bagaimana hokum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan terhadap mereka. Kedua, bagaimana hokum digunakan untuk meningkatkan posisi social perempuan.
Saran
Dengan penjelasan diatas dapat direkomendasikan beberapa strategi yang harus dilakukan, yaitu,
Dengan mengubah struktur patriarkis yang tidak adil bagi kaum perempuan, menjadi lebih adil, politik pengelolaan lingkungan (termasuk agraria) diarahkan untuk menjamin tegaknya hak-hak perempuan atas pengelolaan lingkungan. Ini berarti menjadikan kepentingan, pengalaman, dan pengetahuan kaum perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perumusan dan pelaksanaan politik pengelolaan lingkungan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan berkemanusiaan.
Gerakan perempuan dan lingkungan yang kuat, sudah semestinya mengagendakan upaya-upaya advokasi menuntut tanggungjawab negara memenuhi hak-hak, dan penolakan terhadap skenario neoliberalisme yang sangat merugikan rakyat (perempuan).
Dalam hal sistem hukum, perlu dilakukan reformasi hukum lingkungan, untuk menjawab tumpang tindihnya kebijakan (perundang-undangan) dan ketidakberpihakan hukum pada rakyat miskin pedesaan khususnya kaum perempuan, ini bisa dilakukan dengan memakai pendekatan analisis feminist legal theory.

1 Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber
Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001, hal. 1
2 Saat Freeport belum masuk, perempuan asli mungkin sekali tidak merasakan beban kehidupan yang berat. Namun ketika Freeport masuk, dampak yang dirasakan oleh perempuan lebih berat dibandingkan dengan laki-laki. Pembedaan secara tradisional ternyata menimbulkan kesengsaraan bagi peempuan saat terjadi perubahan. Karena perempuan harus mengurus makan keluarga maka kerja perempuan menjadi lebih berat saat lingkungan rusak oleh pertambangan.
3 M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005, hal. 50
4 Salah satu aspek yang diatur oleh WTO adalah perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI)/Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs). TRIPs merupakan
instrumen hukum internasional untuk melindungi kekayaan intelektual dan penemuan termasuk makhluk hidup yang salah satunya adalah benih atau varietas pertanian. Dengan hak paten atas mahkluk hidup, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang telah dipatenkan. Lihat Posisi Koalisi Ornop terhadap WTO dalam Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal. 38
5 Deregulasi berarti kemauan pemerintah untuk menyerahkan kedaulatannya demi keuntungan korporasi transnasional dan para operator pasar keuangan. Lihat Susan George, Republik Pasar Bebas, Jakarta, INFID, 2002, hal. 18
6 Pandangan yang selama ini dominant mengenai konsep pertanggungjawaban (liability) dalam hal
pelanggaran HAM berpusat pada negara (state-centric paradigm) yang menempatkan negara sebagai
pelaku utama yang bertanggung jawab untuk menjamin dan melindungi HAM. Inilah konsep yang dikenal dengan state responsibility. Namun seiring dengan kecenderungan pergerakan investasi asing yang mengglobal untuk mengekspolitasi sumber daya alam di negara lain, maka langsung atau tidak langsung korporasi global terlibat dalam pelanggaran HAM baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Kondisi demikian merubah state-centric paradigm dalam pelanggaran HAM. Tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM sudah seharusnya mempertimbangkan actor-aktor baru apakah korporasi global, IMF, WTO sebagai subyek hak dan kewajiban (right and duty holder). Lihat Ifdhal Kasim, op. cit, hal. 26-29
7 ibid
8 Ridha Saleh, op. cit, hal. 34
9 Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) yang secara sui generismengatur hak-hak perempuan menegaskan bahwa perempuan harus sejajar dengan laki-laki dalam pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, dan sipil. Terkait dengan permasalahan hak atas lingkungan maka berdasarkan interpretasi terhadap hak atas hidup, maka pemenuhan hak-hak politik, sipil, ekonomi, social, dan budaya menjadi conditio sina quanon. Interpretasi ini diperlukan karena CEDAW tidak secara khusus mengatur hak perempuan atas lingkungan dan memformulasikan hak atas lingkungan ke dalam pasal-pasalnya.
10 Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup, op. cit, hal. 25
11 M. Ridha Saleh, op. cit, hal. 31
12 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga mengaskan hal yang serupa khususnya ketentuan Pasal 9 (3) bagian hak atas hidup : Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
13 Rio Ismail, Risma Umar, Titi Soentoro, Suara Mayoritas yang Samar : Studi tentang Respon PartaPolitik terhadap Kepentingan Perempuan Menjelang Pemilu 2004, Jakarta, Solidaritas perempuan, 2004, hal. 13 - 21
14 ibid
15 Bagi perempuan kehilangan wilayah kelola memiliki dampak pada semakin tingginya beban kerja dan menurunkan pendapatan yang berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan kekerasan. Perempuan dalam masyarakat patriarki merupakan tulang punggung mengelola rumah tangga sehingga merupakan pihak yang paling merasakan penderitaan tersebut. Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal. 47
16 Arimbi Heroepoetri, R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme vs Neoliberalisme, Jakarta, WATCH Indonesia dan Institut Perempuan, 2004, hal. 17-19
17 Lebih lanjut Warren menawarkan feminisme transformatif untuk menyikapi kegagalan 4 (empat) cabang pemikiran feminis – liberal, marxis, radikal, dan sosialis – untuk melaksanakan praktik ekofeminisme. Feminisme transformatif mempunyai 6 (enam) karakteristik: (1) feminisme transformatif mengakui dan mengeksplisitkan saling keterkaitaan antara semua sistem opresi; (2) menekankan keberagaman pengalaman perempuan; (3) menolak logika dominasi; (4) memikirkan ulang apa artinya menjadi manusia; (5) bergantung pada etika yang menekankan nilai-nilai etika “feminin” tradisional yang cenderung untuk menjalin, saling menghubungkan, dan menyatukan manusia; dan (6) ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan untuk menjaga kelangsungan bumi. Lihat Rosemarrie Putnam Tong, Feminis Thought, Yogyakarta, Jalasutra, 2005, 366 – 391
18 Ratna Kapoor, Pendekatan Hukum Berperspektif Gender, disarikan dan diterjemahkan oleh sri Wiyanti Eddyono, dalam Materi Pelatihan HAM bagi Pengacara Angkatan VII, Jakarta, Elsam, 2002
19 ibid20 Ratna Kapoor, op.cit.