Kamis, 08 Januari 2009

kedaulatan pangan, wujud perlindungan hak asasi manusia

Oleh: Muh. Irsyadi Ramadhany
Mahasiswa Pasca Sarjana Unhas Makassar

Mungkin banyak diantara kita yang belum mengetahui penyebab terjadinya kelaparan di pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sebenarnya kaya, bahkan justru tidak sedikit melempar persoalan kelaparan rakyat ke masyarakat sendiri sebagai imbas ketidak mampuan atau tidak memiliki usaha yang inovatif untuk mengatasi persoalan mereka sendiri.
Kelaparan yang dialami masyarakat NTT, bukan hanya satu-satunya realitas social yang memilukan yang terjadi di Negara kaya dengan rempah-rempah, Indonesia, dan bukanlah sebatas persoalan takdir belaka dari Tuhan.
Sejarah mencatat, sekitar tahun 1980-an sekelompok masyarakat NTT dikirim ke Makassar, sulawesi selatan untuk belajar mem-budidadaya-kan padi, ini merupakan bagian dari program revolusi hijau yakni penyeragaman pangan seperti beras yang dikemudian dikenal dengan “berasisasi�, program ini dilakukan oleh pemerintah rezim orde baru sebagai kebijakan pertanian yang dipaksakan oleh Word Trade Organisation (WTO) dengan dalih peningkatan mutu produksi pangan dunia. Disinilah awal permasalahan yang mengakibatkan kelaparan dipulau tersebut.
Masyarakat NTT yang sebelumnya masyarakat pengkomsumsi umbi-umbian beralih menjadi pengkomsumsi beras, padahal lahan dan iklim di dipulau komodo tersebut tidak mampu menghasilkan padi, hanya sebagian umbi-umbian dan jagung bisa tumbuh, sehingga yang terjadi adalah ketidak mampuan masyarakat NTT mempertahankan ketahanan pangannya (food security) seperti paradigma yang selama ini dipahami oleh pemerintah dalam menangani pangan rakyat.

Ketahanan Pangan Vs Kedaulatan Pangan

Realitas diatas menggambarkan gagalnya program WTO tentang konsep ketahanan pangan (food security) tersebut, karena yang diperlukan untuk meghindari kelaparan dan gizi buruk adalah memberikan kebebasan tehadap masyarakat untuk mengembangkan pangan yang sesuai dengan kondisi alam mereka atau yang dikenal dengan konsep kedaulatan pangan (food sovereignty).
Konsep kedaulatan pangan baru dikenal sejak tahun 1996 yang diperkenalkan oleh organisasi petani internasional, La Via Campesina saat deklarasi Tlaxcala di Mexico untuk merespon ancaman organisasi perdagangan dunia (WTO) kepada Negara-negara miskin dalam menyediakan makanan pokok kepada penduduknya.
Kedaulatan pangan mengacuh kepada aspek pengambilan keputusan secara berdaulat ditingkat nasional (local) dalam soal ketahanan pangan, bukan pada badan perdagangan internasional seperti WTO, sebagai instrument untuk menghapuskan kelaparan, kurang gizi, serta menjamin ketahanan pangan yang berkelanjutan bagi semua orang.
Selain kedaulatan pada wilayah pemilihan jenis pangan yang dibudidayakan, konsep kedaulatan pangan juga memberikan kadaulatan untuk menentukan kebijakan yang strategis lainnya seperti produksi dan distribusi pangan yang berkelajutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh masyarakat dunia sesuai dengan produksi berskala kecil dan menengah serta menghargai kearifan local serta keberagaman proses pertanian.

Hak Asasi Rakyat Atas pangan

Dalam konteks ke-indonesia-an, konstitusi yang sudah diamendemen menjamin setiap orang untuk mengembankan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya yaitu pangan serta pemerintah memberikan kemerdekaan terhadap rakyat untuk menanam jenis tanaman pangan tertentu sesuai dengan kearifan local masing-masing daerah serta memberi akses ekonomis rakyatnya.
Dalam undang-undang no. 39 tahun 1999 Pasal 9 sampai Pasal 66 menegaskan beberapa jaminan terhadap hak-hak dasar manusia termasuk dalam menjaga pemenuhan kebutuhan pangan seperti salah satu point dalam hak social ekonomi yaitu right to food (hak mendapatkan makanan). (Aswanto, makalah, Hak asasi manusia vs hak warga Negara).
Namun kenyataan yang dihadapi sekarang adalah terjadinya krisis pangan, yang mengakibatkan ketidak merataan akses rakyat terhadap pangan yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya busung lapar dan kurang gizi dan banyaknya rakyat yang mengkomsumsi nasi aking, penyebabnya bisa dilihat beberapa kebijakan yang tidak tepat untuk mencapai target swasembada pangan dan ketahanan pangan rakyat,
Terjadinya kelaparan, busung lapar dan kurang gizi diberbagai daerah merupakan wujud kegagalan Negara dalam melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya yang juga bisa berarti pelanggaran hak asasi manusia.
Olehnya itu pemerintah harus benar-benar menentukan kebijakan-kebijakan pro rakyat, yang tepat terhadap akar persoalan. Pemerintah harus benar-benar bisa melindungi hak rakyat atas pangan, selain realisasi prinsip kedaulatan pangan dengan meningkatkan metode versifikasi pangan sumber karbohidrat non-beras, juga harus ditunjang dengan tindakan-tindakan konkrit dan kebijakan yang menyentuh pada grass root seperti meningkatkan kualitas hasil pertanian dengan modal pengelolaan yang murah dengan memberikan subsidi pupuk, benih, menciptakan system multicultural pangan, serta menuntaskan agenda reformasi agraria (land reform) agar tanah sebagai alat produksi pangan bisa merata dan berkeadilan. Sehingga dengan demikian akan tercipta sebuah system yang adil dengan memberikan kemudahan kepada masyarakat petani maupun masyarakat konsumen pangan perkotaan.